Selasa, 26 Februari 2013

Neuropedagogis


BAB II
PEMBAHASAN
   Hakikat Neuropedagogis
Ada tiga istila secara harfiah. Neuro, berarti sel syaraf otak. Dalam konteks ini, bagaimana sel-sel tersebut mencatat atau merekam informasi di sekitar kita setelah mendapatkan stimulus. Menurut para ahli neuro science, sel syaraf otak kita menerima 4 juta item informasi per detiknya. Informasi itu masuk ke dalam alam pikir kita melalui peran sel-sel syaraf atau akson. Menurut Pasiak (2004) dalam otak manusia terdapat akson yang berfungsi sebagai pemberi pesan dalam tubuh kita. Akson setelah menerima stimulus dari luar dan diproses melalui dua cara:1) sinyal listrik dan 2) sinyal kimiawi (neurotransmitter). Dengan proses listrik dan biokimiawi inilah informasi yang jumlahnya jutaan itu dicatat dan direkam. Sangat kompleks yang kita rekam, dari apa yang kita lihat, dengar, dan raba/pegang hingga apa yang kita baui dan kita rasakan melalui panca indera. Dengan kata lain, neuro berarti bagaimana sel-sel syaraf otak menerima informasi. Semua yang kita sensing melalui panca indera itu, pencatannya membutuhkan kebahasaan (linguistic) sebagai alat bantu. Inilah unsur kedua dari pengertian harfiah NLP, yakni linguistic. Tanpa bahasa otak kita tidak bisa mereprentasikan, tidak bisa menggambarkan apa kita alami. Contoh betapa bahasa akan memudahkan kita untuk merepresentasikan sesuatu peristiwa agar pikiran mudah mencatat/merekamnya. seseorang mengalami sebuah peristiwa makan pagi misalnya. Tentunya seseorang tersebut dapat melihat (potret makan pagi) dalam pikirannya. Sehingga dapat merasakannya: enak, menyenangkan, membauinya dan mendengarkan tegukan air minumnya.
Pedagogik berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki, dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogic secara harfiah berari pembantu anak laki-laki pada jaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah. Kemudian secara kiasan pedagogik menurut seorang ahli, yaitu membimbing anak kearah tujuan hidup tertentu. Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogic adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogic adalah ilmu pendidikan anak.
Langeveld (1980), membedakan istilah “pedagogic” dengan istilah “pedagogi”. Pedagogic diartikan dengan ilmu pendidikan, lebih menitik beratkan kepada pemikiran, perenungan tentang pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak, mendidik anak. Sedangkan istilah pedagogi berarti pendidikan, yang lebih menekankan pada praktek, menyangkut kegiatan mendidik, kegiatan membimbing anak.
Pedagogic merupakan suatu teori yang secara teliti, krisis dan objektif, mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakekat manusia, hakekat anak, hakekat tujuan pendidikan serta hakekat proses pendidikan. Walaupun demikian, masih banyak daerah yang gelap sebagai “terraincegnita” (daerah tak dikenal) dalam lapangan pendidikan, karena masalah hakekat hidup dan hakekat manusia masih banyak diliputi oleh kabut misteri.
Dalam bahasa inggris istilah pendidikan dipergunakan perkataan “education”, biasanya istilah tersebut dihubungkan dengan pendidikan di sekolah, dengan alasan, bahwa disekolah tempatnya anak didik oleh para ahli yang khusus mengalami pendidikan dan latihan sebagai profesi. Setelah muncul dari beberapa pengertian tentang neuro dan pedagogis, dapat disimpulkan bahwa neuropedagogis bisa disebut juga Neuroeducation yaitu Interdisipliner yang menggabungkan bidang neurosience, psikologi dan pendidikan untuk menciptakan peningkatan pengajaran metode dan kurikulum dalam penelitian dan inisiatif untuk menggunakan penemuan tentang belajar , memori , bahasa , dan daerah lain. kognitif neuroscience bertujuan untuk menginformasikan pendidik mengenai strategi terbaik untuk mengajar dan belajar. 
Semakin banyak, guru ingin dan perlu tahu tentang bagaimana siswa berpikir dan belajar. Ahli saraf, di sisi lain, ingin tahu bagaimana bisa pertanyaan guru mendorong penelitian neuroscience. Dampak post-modernism yang adalah wawasan tentang peta kompleksitas pemikiran dan praktik intelektual yang kebenarannya bertolak dari rasio dan pengetahuan melalui pengalaman menuntut kita memahami esensi pendidikan yang adalah pengembangan penalaran tentang apa yang diketahui dan yang tidak diketahui.
Penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien merupakan hasil dari proses interaktif yang dinamis dengan lingkungan yang mencakup ciri-ciri fisik, mental, dan emosional yang mengakibatkan integrasi yang terakselerasikan dari fungsi otak dan berakibat terhadap pemekaran kemampuan manusia secara optimal (Semiawan, C, 2005).
Paradigma baru kependidikan sebagai buah penelitian dalam penelitian neuroscience (Teagle, 1992) didasarkan pada asumsi bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) sehingga memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menciptakan hal-hal yang sifatnya baru.
 Neuropedagogis dan Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar atau learning disability yang biasa juga disebut dengan istilah learning disorder atau learning difficulty adalah salah satu kelainan yang membuat individu yang bersangkutan sulit untuk melakukan kegiatan pembelajaran secara efektif (Martini:2010). Faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar tidak mudah untuk ditetapkan karena faktor tersebut bersifat kompleks, bahkan faktor tersebut tidak dapat diketahui akan tetapi mempengaruhi kemampuan otak dalam enerima dan memproses imformasi dan kemampuan dalam belajar dibidang-bidang studi tertentu.
Akan tetapi kemudian ada dugaan para ahli bahwa salah satu penyebab dari kesulitan belajar disebabkan oleh minimal brain dysfunction atau disfungsi otk yang terjadi secara minimum. Oleh sebab itu, otak merupakan perangkat yang penting dn berpengaruh terhadap keberhasilan manusia dalam melakukan berbagai kegiatannya termasuk kegiatan belajar.
Hubungan neuropedagogis dengan kesulitan belajar diantara susunan syaraf pusat yang telah di teliti oleh Alfread Strauss, seorang Neurologist berkebangsaan Jerman yang berimigrasi ke U.S.A pada akhir 1930. Ia menerangkan adanya hubungan antara luka pada otak dengan penyimpangan di dalam perkembangan bahasa, persepsi dan perilaku.
Selanjutnya, strauss dan Lehtinen (1942) mengemukakan bahwa kerusakan yang terjadi pada otak yang menjadi penyebab terjadinya kelainan persepsi visual dan auditif menyebabkan terjadinya kesulitan di bidang bahasa, membaca, matematika, dan bidang lainnya. Hasil penelitian strauss mendorong lahirnya ilmu yang disebut neuropsychology.
Wittrock (1978) dan Gordon (1983) adalah para ahli yang melakukan penelitian di bidang neuropsychology dan hasil penelitian kedua tersebut mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan Strauss. Kedua ahli ini menyimpulkan bahwa belah otak bagian kiri (left hemisphere) mengatur fungsi sequential linguistic (urutan linguistik) dan verbal task (tugas verbal). Sedangkan belah otak bagian kanan (right hemisphere) mengatur auditory task (tugas auditori, visual spatial task (tugas visual spatial) dan non verbal activities (kegiatan non verbal). Kerusakan yang terjadi pada belahan otak bagian kanan dan belahan otak bagian kiri menyebabkan kesulitan individu dalam melaksanakan tugas-tugas belajar yang berkaitan dengan bahasa, visual dan auditif.
Selama bertahun-tahun berbagi ahli tergantung pada bergagai pendekatan yang lebih maju dalam usahanya untuk mengukur fungsi neurologi dalam rangka mencari informasi bahwa otak melakukan pelayanannya dengan berbagai fungsi yang dimilikinya dan bagaimana struktur. Struktur otak individu yang mengalami cidera otak berbeda dengan struktur otak individu yang tidak pernah mengalami kerusakan otak. Hasil penelitian tersebut sampai saat ini masih tetap diakui, diantaranya 60 % - 70 % individu yang kuat dalam fungsi belahan otak bagian kiri memiliki kemampuan yang tinggi di bidang bahasa, sementara itu hanya 20 % - 30 % individu yang kuat dalam fungsi belahan otak bagian kanan yang memiliki kemampuan dalam bidang bahasa. (Ojemann, 1985)
Heir dan teman-teman sejawatnya, seperti yang dikutip oleh Lovit (1989) melakukan penelitian terhadap sejumlah penderita dyslexia dan ia menemukan bahwa penderita dyslexia memiliki belahan otak kanan yang lebar dari pada belahan otak kiri. Keadaan ini menjadi penyebab terjadinya kesulitan belajar membaca. Dyslexia merupakan kondisi yang berkaitan dengan kemampuan membaca yang sangat tidak memuaskan.
Individu yang mengalami dyslexia memiliki IQ normal bahkan diatas normal, akan tetapi memiliki kemampuan membaca 1 atau 1 ½ tingkat di bawah kemampuan IQ nya. Kasus dyslexia dialami oleh 3%-6% dari jumlah penduduk. Namun  kasus yang berkaitan dengan kesulitan membaca yang tidak di golongkan ke dalam dyslexia kurang dari 50% dari jumlah penduduk. (Child Development Insitute, 2008 : 1). Siswa yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami satu atau lebih kesulitan dalam memproses informasi, seperti kemampuan dalam menyampaikan dan menerima informasi.

Neuropedagogis dan Brain Restoration 
Menurut dr. Ratna Rosita, peran kesehatan dalam mengembangkan SDM berbasis otak dilakukan dengan mengoptimalkan upaya kesehatan otak dimulai dari sejak janin sampai lanjut usia. Sedangkan "Brain Development" adalah salah satu model pendekatan pengembangan pemberdayaan manusia berbasis otak untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas SDM.
Dalam Brain Development perkembangan otak manusia dilihat secara anatomis, secara molekuler, dan tentu secara psikologis.Yang dimaksud dengan perkembangan otak manusia secara anatomis adalah perkembangan otak manusia yang terdiri dari otak reptil, otak mamalia, dan otak neo cortex. Yang dimaksud secara molekuler adalah seperti syaraf, myelin, dendrite, hingga zat – zat yang terdapat di dalam otak. Yang dimaksud secara psikologis adalah proses kognitif, proses afektif, dan proses psikomotorik seseorang yang semuanya diatur di dalam otak. Proses brain development dibagi tiga, brain screening, brain stimulation, dan brain restoration. Brain selection atau brain screening adalah upaya penilaian potensi kecerdasan pada orang normal maupun sakit yang meliputi Penilaian potensi kecerdasan pada anak sampai lanjut usia; Penilaian potensi kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence) pada anak misalnya kecerdasan bahasa, kecerdasan matematika, ataupun kecerdasan lainnya; dan Penilaian kecerdasan kompeten pada dewasa/usia produktif. Tahapan selanjutnya atau Brain stimulation adalah upaya peningkatan kesehatan otak melalui pemberian rangsangan dengan tujuan mengoptimalkan potensi kecerdasan yang meliputi Stimulasi pada janin (dilakukan melalui brain booster, yaitu pemberian stimulasi dan nutrisi pengungkit otak untuk meningkatkan perkembangan otak janin melalui ibu hamil), Peningkatan kemampuan komunikasi anak dan remaja melalui komunikasi otak. Tahap Brain Restoration adalah upaya penanggulangan kerusakan otak melalui rangsangan potensi kecerdasan yang masih dimiliki untuk memaksimalkan potensi kecerdasan yang berbeda-beda tergantung pada usia. Brain restoration sebagai Stimulasi/rehabilitasi kognitif yang bertujuan untuk menanggulangi gangguan fungsi kecerdasan dan meningkatkan kualitas hidup penderita yang mengalami gangguan kognitif. Brain restoration yang dimaksud adalah rangkaian proses terapi, latihan atau kegiatan kepada seorang manusia yang mengalami cedera otak, penyakit, atau gangguan otak. Proses terapi, latihan atau kegiatan ini bekerja sama antara keluarga dan tenaga kesehatan professional. Tujuan dari prose terapi, latihan, atau kegiatan ini adalah bagaimana meringankan gangguan kognitif serta meningkatkan kemampuan hidup sehari – hari. Peningkatan kemampuan hidup sehari – hari, contohnya kemampuan untuk mengurus diri sendiri seperti mengkacing baju, dan sebagainya.

BAB III
KESIMPULAN


Neuropedagogis atau bisa juga disebut dengan Neuroeducation yaitu Interdisipliner yang menggabungkan bidang neurosience, psikologi dan pendidikan untuk menciptakan peningkatan pengajaran metode dan kurikulum dalam penelitian dan inisiatif untuk menggunakan penemuan tentang belajar , memori , bahasa , dan daerah lain. kognitif neuroscience bertujuan untuk menginformasikan pendidik mengenai strategi terbaik untuk mengajar dan belajar.
Dan hubungannya dengan Kesulitan Belajar yaitu  ketika sel saraf otak kita ada yang rusak yang terjadi pada belahan otak bagian kanan dan belahan otak bagian kiri menyebabkan kesulitan individu dalam melaksanakan tugas-tugas belajar yang berkaitan dengan bahasa, visual dan auditif. Menurut Wittrock (1978) dan Gordon (1983).
Kemudian diperkuat lagi oleh Heir dan teman-teman sejawatnya, seperti yang dikutip oleh Lovit (1989), melakukan penelitian terhadap sejumlah penderita dyslexia dan ia menemukan bahwa penderita dyslexia memiliki belahan otak kanan yang lebar dari pada belahan otak kiri. Keadaan ini menjadi penyebab terjadinya kesulitan belajar membaca.
Brain         Restoration adalah upaya penanggulangan kerusakan otak melalui rangsangan potensi kecerdasan yang masih dimiliki untuk memaksimalkan potensi kecerdasan. Hubungannya adalah ketika Brain restoration berlum tertanggulangi akan menghambat perkembangan otak anak terhadap proses pendidikannya.



Daftar Pustaka

Anderson, Paul D., 1996, Anatomi dan Fisiologi       Tubuh  Manusia, EGC, Jakarta
Jamaris, Martini. 2009, Kesulitan Belajar, Yayasan Penamas Murni, Jakarta
Jamaris, Martini. 2010, Orientasi Baru dalam Psikologi Perkembangan, Yayasan Penamas Murni, Jakarta
http://www.antaranews.com/berita/1323185482/kemkes-kesehatan-otak-penting-untuk-kualitas-sdm
http://optimalisasi-otak-tengah.blogspot.com/2010/07/perkembangan-otak-manusia.html

Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara


BAB II
ISI

2.1     FILOSOFI PENDIDIKAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia , serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat .
Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal . Seperti kata Mark Twain , "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."  Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.
Menurut Horton dan Hunt , lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut:
·         Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
·         Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
·         Melestarikan kebudayaan.
·         Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Fungsi lain lembaga pendidikan adalah sebagai berikut.
·         Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
·         Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
·         Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise , privilese , dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
·         Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Menurut David Popenoe , ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:
·         Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
·         Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
·         Menjamin integrasi sosial.
·         Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
·         Sumber inovasi sosial.

2.2               PRINSIP – PRINSIP PENDIDIKAN
prinsip konstruktivisme. Sementara itu, konstruktivisme sangat berbeda dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi dari teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Belajar bukanlah kegiatan menghubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar. Teori perubahan konsep membedakan dua macam perubahan konsep perubahan konsep yang kuat dan yang lemah. Perubahan konsep yang kuat terjadi bila seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yang telah ia punyai ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Perubahan yang lemah bila orang tersebut hanya mengadakan asimilasi skema yang lama ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan perubahan itu pengetahuan manusia berkembang dan berubah. Untuk memungkinkan terjadinya perubahan diperlukan suatu keadaan yang menantang orang tesebut berpikir. Teori asimilasi Ausubel menjelaskan bagaimana belajar bermakna terjadi, yaitu bila siswa mengasimilasikan apa yang ia pelajari dengan pengetahuan yang ia punyai sebelumnya. Dalam proses ini pengetahuan seseorang selalu diperbaharui dan dikembangkan lewat fenomena dan pengalaman yang baru.Teori skema lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat mengubah dan menambahkan skema yang ada sehingga dapat menjadi luas dan berkembang. Ketiga teori tersebut dalam banyak hal mengandung kesamaan dengan prinsip konstruktivisme. Sementara itu, konstruktivisme sangat berbeda dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam.

2.3       APLIKASI PANDANGAN KI HADJAR DEWANTARA DALAM PENDIDIKAN.
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.  Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !” Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik. Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.

2.4     PERANAN KI HADJAR DEWANTARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SAAT INI
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses mengajar, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian pada hari ini atau masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru dan di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya ‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didiknya.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan social peserta didik. Secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’, ‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain.
Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’ dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari ‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain.
Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya.
Proses memindahkan segala’keteladanan diri’ pengetahuan diri dan perilaku professional seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh Ki hajar dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’. Pada posisi inilah guru juga harus mampu menjadi motivator dikelasnya. Mengapa motivator? Karena Motivator memiliki kekuatan sinergis antara mengajar dan mendidik seperti motivasi dari pendidikan KiHajar itu sendiri.
Urgensitas Pendidikan Karakter dan Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara
“Karakter yang ingin kita bangun bukan hanya kesantunan, tetapi secara bersamaan kita bangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaranan intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi,” katanya. Seolah pernyataan menunjukkan isyarat bahwa sudah saatnya kita kembali merefleksi konsepsi pendidikan kita saat ini berjalan. Sebab konsepsi pendidikan karakter sebenarnya merupakan hasil pemikiran luhur dari Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara.
Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni  tringa  yang meliputi  ngerti, ngrasa,  dan  nglakoni . Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Merasa saja dengan tidak pengertian dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu. “Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku kothong”, laku tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar tidak pincang perbuatan harus dengan ilmu.
Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapakan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran/amanah, diplomatis; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan kebajikan

BAB III
PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
ü   Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia , serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat .
ü   konstruktivisme sangat berbeda dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi dari teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain.
ü    Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).

3.2     DAFTAR PUSTAKA
ü Abdurrahman Surjamiharjo, Ki Hadjar dan Taman Siswa, 147-148.
ü Wikipedia

PENDIDIKAN MENURUT MOHAMMAD SYAFEI

PENDIDIKAN MENURUT MOHAMMAD SYAFEI

A.     Profil Mohammad Syafei

Mohammad Syafei lahir tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan diangkat jadi anak oleh Ibarahim Marah Sutan dan ibunya Andung Chalijah, kemudian dibawah pindah ke Sumatra Barat dan menetap Bukit Tinggi. Marah Sutan adalah seorang pendidik dan intelektual ternama. Dia sudah mengajar di berbagai daerah di nusantara, pindah ke Batavia pada tahun 1912 dan aktif dalam Indische Partij.
Pendidikan yang ditempuh Moh. Syafei adalah sekolah raja di Bukit tinggi, dan kemudian belajar melukis di Batavia (kini Jakarta), sambil mengajar di Sekolah Kartini. Pada tahun 1922 Moh. Syafei menuntut ilmu di Negeri Belanda dengan biaya sendiri. Di sini ia bergabung dengan "Perhimpunan Indonesia", sebagai ketua seksi pendidikan.
Di negeri Belanda ini ia akrab dengan Moh. Hatta, yang memiliki banyak kesamaan dan karakteristik dan gagagasan dengannya, terutama tentang pendidikan bagi pengembangan nasionalisme di Indonesia. Dia berpendapat bahwa agar gerakan nasionalis dapat berhasil dalam menentang penjajahan Belanda, maka pendidikan rakyat haruslah diperluas dan diperdalam. Semasa di negeri Belanda ia pernah ditawari untuk mengajar dan menduduki jabatan di sekolah pemerintah. Tapi Syafei menolak dan kembali ke Sumatara Barat pada tahun 1925. Ia bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota maupun di pedalaman.
Mohamad Syafei mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische Nederland School (INS) pada tanggal 31 oktober 1926. Di Kayu Tanam, sekitar 60 km di sebelah Utara Kota Padang. Sekolah ini didirikan di atas lahan seluas 18 hektar dan dipinggir jalan raya Padang Bukit Tinggi. Ia menolak subsidi untuk sekolahnya, seperti halnya Thawalib dan Diniyah, tapi ia membiaya sekolah itu dengan menerbitkan buku-buku kependidikan yang ditulisnya. Sumber keuangan juga berasal dari sumbangan-sumbangan yang diberikan ayahnya dan simpatisan-simpatisan serta dari berbagai acara pengumpulan dana seperti mengadakan pertunjukan teater, pertandingan sepak bola, menerbitkan lotere dan menjual hasil karya seni buatan murid-muridnya. Pengajaran di dalam kelas menggunanakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai pelajaran bahasa asing yang pokok, ditekan pada pelajaran-pelajaran yang akan terpakai oleh murid-murid apabila mereka kelak kembali.

B.    Filosofi Pendidikan Menurut Mohammad Syafei (INS Kayu Tanam)
INS Kayu Tanam didirikan pada tanggal 31 Oktober 1926, sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. (dikutip dari: M. Syafei, Sejarah INS Kayu Tanam, Harian Angkatan Bersenjata Edisi Padang, 2 November 1966, hal. 1)
 
Reaksi yang demikian di Sumatera Barat juga menunjukkan dirinya dengan nyata dalam berbagai gerakan. INS Kayu Tanam merupakan salah satu bentuk gerakan tersebut, yang lahir sebagai reaksi bangsa Indonesia di Sumatera Barat melalui M. Syafei dalam bidang pendidikan. (dikutip dari: Abdul-Mukthi A.H, Panji Masyarakat, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1966, No. 41,hal.41)
 
M. Syafei mempunyai pandangan bahwa Pergerakan Nasional Indonesia hanya akan berhasil mencapai tujuannya dengan cepat dan tepat, karena kemerdekaan tidak mungkin diperoleh dengan beberapa orang pemimpin saja, tetapi harus didukung oleh seluruh rakyat. Oleh karena itu, rakyat juga harus ikut berjuang dan agar perjuangan dapat mencapai tujuan, maka rakyat perlu ditingkatkan kecerdasannya. Untuk meningkatkan kecerdasan rakyat, pendidikan harus ditingkatkan pula, yaitu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan perjuangan mencapai Indonesia Merdeka.
 
Dalam hal ini M. Syafei mengatakan sebagai berikut:
"....... kami mendapat keyakinan bahwa partai politik baru kuat, kalau anggota-anggotanya mempunyai idiologi politik, kalau tidak demikian tidak akan bisa menghadapi penjajahan dengan baik. Keyakinan ini mendorong kami untuk mendirikan perguruan, dimana dilakukan pembentukan kader-kader untuk gerakan Nasional Indonesia, mencapai tujuan, yaitu Kemerdekaan.") (dikutip dari: Abdul-Mukthi A.H, Panji Masyarakat, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1966, No. 41,hal.41)

Keyakinan INS Kayu Tanam yang selalu dipegang teguh oleh M. Syafei dalam melola INS dari tahun ke tahun, dengan rasa:
a) Mendidik rakyat kearahkemerdekaan.
b) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
c) Mendidik pemuda-pemuda supaya berguna bagi masyarakat.
d) Menanamkan kepercayaan pada diri sendiri dan berani bertanggungjawab.
e) Tidak mau menerima bantuan yang mengikat. (dikutip dari: Aliran-aliran Baru dalam Pendidikan dan pengajaran, Percetakan Dagang Usaha,Payakumbuh, 1958, hal. 91)
 
Semboyan M. Syafei adalah "cari sendiri dan kerja sendiri. (dikutip dari: Aliran-aliran Baru dalam Pendidikan dan pengajaran, Percetakan Dagang Usaha,Payakumbuh, 1958, hal. 91)

Tujuan pertama dari INS yaitu mendidik rakyat ke arah kemerdekaan, merupakan landasan keyakinan M. Syafei untuk mendirikan INS. Apabila rakyat Indonesia telah mengerti arti kemerdekaan dan dapat melihat kehidupan rakyat terjajah, maka mereka akan ikut secara sadar dalam setiap gerakan mencapai Indonesia Merdeka. Melalui pendidikan rakyat dapat mempunyai idiologi politik dan dapat mengetahui sasaran untuk diperjuangkan. Pendidikan kemerdekaan yang diberikan M. Syafei melalui INS adalah kemerdekaan dalam arti yang luas, yaitu kemerdekaan berfikir, berbuat, menentukan pilihan, dan berpikir berdasarkan kenyataan.
 
INS juga memberikan pendidikan yang sesuai dengan masyarakat, yang bertentangan dengan tujuan pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang hanya ingin mendapatkan tenaga terdidik yang murah untuk kepentingan mereka. M. Syafei menyadari, walaupun jumlah sekolah banyak didirikan Belanda, tetapi pada hakikatnya adalah untuk kepentingan mereka. Cara tradisional dalam menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan intelektualistis semata, tidaklah sesuai dengan perkembangan jiwa anak Indonesia. Sistem tersebut hanya akan mendidik anak Indonesia menjadi robot pemerintah Hindia Belanda yang melaksanakan kepentingan Belanda di Indonesia. Otak anak didik hanya diisi dengan bermacam pengetahuan yang kegunaannya bagi kehidupan masyarakat Indonesia belum tentu manfaatnya.  Dasar pendidikan tersebut jauh berbeda dengan kenyataan hidup masyarakat Indonesia, pendidikan yang diselenggarakan Belanda tidak sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Hal inilah yang akan diubah oleh M. Syafei melalui INS.
 
Bahan pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang hidup dalam masyarakat Indonesia, di samping teori yang mendasari ilmu pengetahuan tersebut, prakteknya diberikan dengan seimbang. Dengan demikian apabila tingkatan teori kurang tinggi dapat diimbangi oleh praktik yang baik. Dengan dasar pandangan yang demikian INS melaksanakan secara seimbang antara teori dan praktik dengan tujuan akhir diletakkan pada kemampuan untuk melaksanakan teori tersebut sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Di samping itu pelajaran diberikan sesuai dengan harus dipupuk dengan baik dan diberikan latihan yang sesuai supaya dapat dikembangkan secara optimal.
 
M. Syafei ingin menghilangkan penyakit pendidikan pada waktu itu, yaitu verbalisme.
Verbalisme dalam pendidikan akan menghasilkan anak ibarat orang membuat kue, bagaimana bentuk cetakannya begitulah bentuk kuenya. Sistem pendidikan yang begini akan menghasilkan manusia yang sempit alam fikirannya atau akan menghasilkan anak didik yang serba tanggung menghadapi kehidupan masyarakat dan pendidikan yang demikian tidak berguna dan tidak dibutuhkan masyarakat. Anak didik dilatih dengan bekerja sambil belajar, kecerdasan berpikir anak didik dengan cara ini dapat dikembangkan seluas-luasnya, karena mereka dibiasakan bekerja dengan teratur, intensif, dan kreatif. Penyakit verbalisme dapat dihilangkan secara berangsur, sehingga setiap pendidikan bermanfaat bagi masyarakat.
 
Tujuan lain INS yaitu menanamkan kepercayaan pada diri sendiri dan berani bertanggung jawab, merupakan tujuan pendidikan INS yang penting bagi masyarakat Indonesia pada waktu itu. Sistem ini akan memupuk kepribadian anak didik dengan kepribadian Indonesia, bukan kepribadian Barat. Anak didik akan mempunyai jiwa yang dinamis, percaya pada diri sendiri, berani berbuat, dan berani bertanggung jawab. Dengan tujuan ini M. Syafei akan membentuk kepribadian anak didik sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
 
INS berusaha mendidik supaya anak dapat berdiri sendiri dalam keadaan yang bagaimanapun. Tujuan ini merupakan reaksi langsung terhadap sistem pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang selalu membuat hasil didikannya tergantung kepada mereka.
 
Segala bantuan yang akan mengikat tidak boleh diterima, karena kerja sendiri, dan usaha sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakan dengan sistem belajar sambil bekerja. M. Syafei berusaha membangkitkan watak yang baik terhadap anak didiknya di samping aktif, kreatif dan efisien dalam bekerja. Bahan serta alat pelajaran diambilkan dari lingkungan dan mudah memperolehnya. Anak didik dibiasakan bekerja dengan alat sederhana untuk mencapai tujuan pendidikan.
 
Kenyataan yang berlaku pada waktu itu dalam dunia pendidikan yaitu pendidikan yang bersifat umum dan intelektualistis, hanya mementingkan kecerdasan otak semata dan kurang memperhatikan serta membina bakat yang dimiliki anak didik. Terpengaruh oleh cita-cita Dewey dengan pragmatisme dan Kerschensteiner dengan Arbeitschule serta didorong oleh keinginan sendiri bahwa Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya, maka segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia mesti berguna sesuai dengan kodrat kejadian bumi dan isinya oleh Tuhan. Kalau sekiranya manusia dan alam lainnya itu tidak berguna, hal itu disebabkan karena manusia itu sendiri yang tidak pandai mempergunakannya. (dikutip dari: Kementerian Penerangan, Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Tengah hal .778)

C.    Prinsip Pendidikan Menurut Mohammad Syafei (INS Kayu Tanam)
Prinsip pertama yang dipegang teguh oleh M. Syafei dalam pendidikannya adalah "belajar, bekerja, dan berbuat". Apabila murid hanya mendengarkan saja ilmu pengetahuan yang diajarkan guru melalui kata-kata yang kadang-kadang tidak dimengerti,  tidak  akan  berguna bagi  murid  karena mereka tidak tahu dan tidak akan pandai mempergunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya atau untuk memperbaiki tingkat kehidupannya kelak di kemudian hari sesudah tamat belajar. Murid hanya akan dipenuhi oleh bermacam pengetahuan yang tinggi dan muluk-muluk, tetapi apabila sudah memasuki kehidupan masyarakat yang sesungguhnya mereka akan bingung dan serba tanggung, sebab mereka tidak pandai mempergunakan ilmu yang banyak mereka miliki itu. Dengan demikian ilmu yang telah diperoleh tidak bermanfaat bagi murid, dan orang lain, ibarat sepotong emas yang terbenam di dalam lumpur.
 
Sistem pendidikan yang demikian hanya akan membuat murid menjadi orang suka meniru, karena sudah dibiasakan barang siapa yang pandai menirukan apa yang dikatakan gurunya, dialah yang akan mendapatkan nilai yang tinggi atau dianggap tinggi prestasinya. Orang yang berprestasi demikian di dalam kelas, dalam masyarakat belum tentu berhasil. Pendidikan yang demikian akan melahirkan bangsa yang suka meniru tanpa berpikir dan bangsa itu tidak akan dapat menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang demikian tergantung hidupnya terhadap bangsa lain, tidak dapat mengambil inisiatif sendiri.
 
M. Syafei menghendaki supaya pendidikan itu didapat melalui pengalaman yang terus-menerus untuk dapat membentuk kebiasaan. Supaya kebiasaan yang akan diperoleh murid sesuai dengan yang diharapkan, maka pendidikan yang akan dialaminya itulah yang diarahkan. Kurikulum sekolah harus disesuaikan dengan kebiasaan murid yang diharapkan itu. Kebiasaan yang sudah  membaku  pada  diri seorang murid, menyebabkan mereka terbiasa pula berpikir secara terpola, karena kebiasaan yang sudah membaku itu didapatnya melalui pengalaman yang sudah direncanakan terlebih dahulu. Jadi, dengan memberikan pengalaman dengan berulang-ulang akan menimbulkan kebiasaan dan kebiasaan ini akan menimbulkan cara berpikir yang lebih aktif, karena pikirannya sudah biasa dilatih melalui pengalaman yang terarah secara terus-menerus.
Supaya anak berpikir secara aktif dan kritis, bagi M. Syafei nilai anak didiknya tidak menjadi masalah yang nomor satu. Yang diutamakan adalah bagaimana proses kerja untuk mencapai hasil tersebut. Melalui pengalaman suatu proses kerja yang telah dilalui dan diketahui dengan baik dapat pula dipergunakan untuk mengerjakan hal lain yang sejenis. Lebih diharapkan apabila proses kerjanya baik dan hasil kerjanya juga baik. Dengan demikian M. Syafei mempergunakan dalam sistem pendidikannya proses kerja yang baik dengan hasil yang baik.
 
Pengalaman, kebiasaan, dan berpikir aktif serta kritis yang paling tepat dilatih melalui pekerjaan tangan kata M. Syafei, bukan dengan pelajaran yang melulu mengutamakan teori saja.
 
Pekerjaan tangan dapat diberikan dalam berbagai-bagai bentuk dan cara, seperti menggambar, kerajinan tangan, bertukang, dan sebagainya. Tentu saja pemberiannya kepada murid harus dilihat tingkatan umurnya, makin rendah umur murid makin rendah dan sederhana tingkat kesukaran pekerjaan tangan yang diberikan kepadanya.
 
Menurut M. Syafei pada setiap manusia terdapat tiga hal pokok yang dapat dikembangkan untuk mendidik manusia itu ke arah yang dikehendaki, yaitu: melihat (45%), mendengar (25%) dan bergerak (35%). Apabila melihat saja yang dilatih selama masa pendidikan, murid akan merupakan orang yang tidak berdaya dalam kehidupan masyarakat di kemudian hari, karena mereka tidak akan dapat berbuat. Begitu juga dengan mendengar saja, akan membentuk manusia peniru yang baik tanpa kesadaran. Sebaliknya apabila unsur bergerak yang dikembangkan berarti sekaligus ketiga unsur itu dikembangkan, karena untuk dapat bekerja dan berbuat orang harus dapat melihat dan mendengar. Dengan bekerja dan berbuat dalam pendidikan sekaligus dapat mengembangkan seluruh pancainderanya dengan aktif.
 
Dalam sistem pendidikan semacam ini tugas guru hanya sebagai pengontrol saja sesudah memberi tahukan bagaimana proses mengerjakannya, sedangkan dalam proses pengerjaannya seluruhnya tergantung kepada aktivitas murid sendiri. Murid diberikan kebebasan untuk mengerjakan, boleh sama dengan yang diajarkan guru dan boleh juga berbeda sama sekali. Yang penting adalah bahwa proses pengerjaannya harus benar dan tepat. Dengan demikian murid akan terbiasa bekerja secara aktif, efektif, dan efisien mengingat waktu yang diberikan untuk mengerjakan sesuatu terbatas.
 
Dengan sistem yang demikian M. Syafei berusaha menanamkan watak yang teguh dan pendirian yang kuat terhadap murid-muridnya serta merupakan pekerja yang ulet dan pantang menyerah. Hal demikianlah yang menyebabkan tamatan INS selalu berhasil dalam setiap bidang usahanya dalam masyarakat.
 
Pengalaman yang diberikan M. Syafei terhadap anak didiknya bukan saja dalam proses belajar mengajar, tetapi juga dalam setiap kegiatan murid selama mereka belajar di INS. Proses belajar sudah dimulai waktu murid bangun tidur di pagi hari. Dia harus membersihkan tempat tidurnya serapi mungkin sebelum ke luar pergi mandi, selimut harus dilipat, tempat tidur harus dirapikan, dan sesudah itu baru mandi dan sembahyang. Sesudah itu membersihkan kamar dan mempersiapkan sarapan, piring dan gelas harus dicuci sendiri sesudah makan. Dengan demikian ditanamkan pendidikan untuk hidup sendiri, bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dilakukannya dan dengan sendirinya ikut menjamin ketenteraman hidup orang lain.
 
Dalam pelajaran di sekolah juga dilakukan demikian, misalnya dalam masalah pertukangan. Sebelum murid memulai pelajarannya, mereka harus memeriksa alat pertukangan yang akan dipergunakannya terlebih dahulu, apakah ada yang rusak atau kotor yang akan dapat mengganggu kelancaran pekerjaan/pelajaran, misalnya dalam membuat sebuah kursi. Guru hanya menjelaskan bagaimana cara membuat kursi dan alat apa saja yang dapat dipergunakan serta bagaimana mempergunakan alat tersebut. Mula-mula guru membuat sebuah disain kursi, artinya apa yang mau dikerjakan harus direncanakan terlebih dahulu, tidak boleh asal bekerja saja, karena hasilnya tidak akan baik dan memenuhi kebutuhan. Sesudah itu murid disuruh mengerjakan menurut gambar masing-masing. Yang diutamakan bukanlah hasilnya, tetapi bagaimana proses pengerjaan kursi tersebut dari awal sampai selesai. Guru hanya mengawasi. saja dalam waktu yang telah ditetapkan. Sesudah selesai bekerja murid harus membersihkan alat pertukangannya dan memperbaiki yang rusak sesudah itu disimpan pada tempatnya kembali dengan rapi. Begitu juga dilakukan terhadap mata pelajaran lainnya sesuai dengan sifat dan jenis pekerjaannya.
 
Dengan pengalaman demikian, murid bukan saja mendapat pengetahuan teori dan praktik, tetapi juga tentang bagaimana merawat dan memelihara alat yang dipergunakan. Murid dibiasakan membuat rencana, mengetahui pelaksanaannya, dan dapat merawat sesuatu yang mereka kerjakan secara efisien dan praktis. Apabila pengalaman yang demikian sudah menjadi kebiasaan dan mendarah daging dalam kehidupan murid sehari-hari akan sangat membantunya nanti dalam menghadapi kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Kebiasaan yang demikian juga menimbulkan cara berpikir yang teratur pula. Sistem pendidikan INS prinsipnya adalah pendidikan harus diberikan melalui pengalaman sendiri dan melalui pengalaman itu akan terbentuk kebiasaan yang akan membentuk kepribadian murid yang berwatak teguh dan berpendirian kuat. Kebiasaan itu juga akan membentuk cara berpikir yang terpola. Hal itu semua paling tepat diberikan melalui mata pelajaran pekerjaan tangan dengan bekerja sambil belajar.

Nasionalisme
Mohammad Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalisme dalam arti konsep dan praktik penyelenggara pendidikan INS kayu tanam didasarkan pada cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya dengan alat daya upaya yang dinamakan aktif kreatif untuk menguasai alam semangat nasionalisme.
Mohammad Syafei dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker dan Perhimpunan di negeri Belanda. Semangat nasionalismenya yang sedang tumbuh menimbulkan pertanyaan, mengapa bangsa Belanda yang jumlahnya sedikit dapat menguasai bangsa Indonesia yang jumlahnya sangat besar. Pertanyaan ini dapat dipecahkan setelah berada dan hidup tengah tengah masyarakat Belanda. Ternyata faktor alam dan lingkungan masyarakat mempengaruhi jiwa manusia. Bagaimanakah bangsa Indonesia dapat menguasai alam yang kaya raya dengan berbagai macam mineral, dengan tanah yang subur? Hal ini dapat terwujud melalui sistem pendidikan yang dapat mengembangkan jiwa bangsa yang aktif kreatif.
Dengan sistem ini, anak-anak sejak kecil sudah dilatih mempergunakan akal pikiran mereka yang didorong olah kemauan yang kuat untuk menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia. Jelas kiranya bahwa nasionalisme Mohammad Syafei adalah nasionalime pragmatis yang didasarkan pada agama, yaitu nasionalisme yang tertuju pada membangun bangsa melalui pendidikan agama menjadi bangsa yang pandai berbuat untuk kehidupan manusia atas segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Mohammad Syafei menyatakan bahwa Tuhan tidak sia-sia menciptakan manusia dan alam lainnya. Tiap-tiapnya mesti berguna dan kalau ini tidak berguna hal itu disebabkan karena kita yang tidak pandain menggunakannya.

Developmentalisme
Pandangan pendidikan Mohammad Syafei sangat dipengaruhi oleh aliran Develomentalisme, terutama oleh gagasan sekolah kerja yang dikembangkan John Dewey dan George Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekitar yang dikembangkan Jan Ligthar.John Dewey berpendapat bahwa pendidikan bahwa pendidikan terarah pada tujuan yang tidak berakhir, pendidikan merupakan sesuatu yang terus berlangsung, suatu rekonstruksi pengalaman yang terus bertambah. Tujuan pendidikan sebagaimana adanya, terkandung dalam proses pendidikan, dan seperti cakrawala, tujuan pendidikan yang dibayangkan ada sebelum terjadinya proses pendidikan ternyata tidak pernah dicapai seperti cakrawala yang tidak pernah terjangkau. Oleh karena itu, seperti yang dinyatakan oleh John Dewey, rekonstruksi pengalaman kita harus diarahkan pada mencapai efesiensi sosial, dengan demikian pendidikan harus merupakan proses sosial.
Sekolah yang baik harus aktif dan dinamis, dengan demikian anak belajar melalui pengalamannya dalam hubungan dengan orang lain. Sehubungan dengan hal ini, John Dewey menyatakan bahwa pendidikan anak adalah hidup itu sendiri. Disini pertumbuhannya terus bertambah, setiap pencapaian perkembangan menjadi batu loncatan bagi perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, proses pendidikan merupakan salah satu bentuk penyesuain diri yang terus menerus berlangsung. Dalam proses tersebut berlangsung proses psikologis (perubahan tingkah laku yang tertuju pada tingkah laku yang canggih, terencana dan bertujuan) dalam proses sosiologis (perubahan adat istiadat ,sikap kebiasaan dan lembaga) yang tidak terpisahkan.
Pandangan John Dewey bahwa pendidikan harus tertuju pada efisiensi sosial, atau kemanfaatan pada kehidupan sosial; dan belajar berbuat atau belajar melalui pengalaman langsung yang lebih dikenal dengan sebutan learning by doing, mempunyai pengaruh besar terhadap konsep pendidikan Muhammad Syafei. George Kerschensteiner mendirikan Arbeit schule atau sekolah Aktivitas. Ia mengartikan sekolah aktivitas sebuah sekolah yang membebaskan tenaga kreatif potensial dari anak. Pada awalnya Kerschensteiner memperkenalkan prinsip aktivitas untuk bidang-bidang industri dan pekerjaan tangan, kemudian memperluasnya pada aspek-aspek tingkah laku mental dan moral. Menurut Kerschensteiner, tugas utama pendidikan adalah pengembangan warga negara yang baik dan sekolah aktivitasnya berusaha mendidik warga negara yang berguna dengan jalan:
1.  Membimbing anak untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri;
2. Menanamkan dalam dirinya gagasan bahwa setiap pekerjaan mempunyai tempatnya masing-masing dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.
3. Mengajarkan kepada anak bahwa melalui pekerjaannya, ia akan memberi sumbangan dalam turut serta membantu masyarakat untuk kearah suatu kehidupan bersama lebih sempurna.
Gagasan dan model sekolah yang dikembangkan Kersschenteiner sangat mempengaruhi konsep dan praktik pendidikan Mohammad Syafei di INS Kayu Tanam.






D.    Aplikasi Pendidikan Menurut Mohammad Syafei (INS Kayu Tanam)
Kurikulum
Kurikulum yang dikembangkan Moh. Syafei merupakan kurikulum untuk pendidikan dasar. Meskipun demikian, untuk tahun-tahun awal sekolah dasar ia menghendaki kurikulum nya berupa materi pendidikan prasekolah. Contohnya kegiatan bermain main dengan pasir, kertas dan lain-lain mendapat perhatian istimewa. Dengan demikian dari segi ini kurikulum pendidikan dasar.
Beberapa mata pelajaran dibahas Syafei secara khusus, yaitu bahasa ibu, menggambar, membersihkan sekolah dan kelas, berkebun dan bemain-main.

Metode Pendidikan
1.Sekolah Kerja
Pemikiran Syafei tentang pendidikan banyak dipengaruhi oleh pemikiran pendidikan awal abad 20 di Eropa, yaitu pemikiran pendidikan yang dikembangkan berdasarkan konsep sekolah kerja atau sekolah hidup atau sekolah masyarakat.
Menurut konsep ini sekolah hendaknya tidak mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat. Untuk itu Syafei mengutip pemikiran Guning: "sebagian sekolah, karena kesalahannya sendiri dan ada pula sebagian yang tidak salah, telah mengasingkan diri dari kehidupan sejati dan telah membentuk dunianya sendiri. Mengukur segala-galanya menurut pahamnya sendiri. Selama hal itu tidak berubah, maka sekolah tidak dapat memenuhi kewajibannya. Ia selalu memaksakan kehendaknya sendiri kepada masyarakat yang seharusnya ia mengabdi kepada masyarakat. Pada tempatnyalah." Sekolah cara baru "bukan saja menghendaki sekolah kerja, tetapi akan berubah menjadi "Sekolah Hidup" atau "Sekolah Masyarakat".



2.Pekerjaan tangan
Berdasarkan pemikiran di atas ia menghendaki guru mengaktifkan pengajaran, maksudnya membuat murid menjadi aktif dalam proses pengajaran. Metode dari pengajaran demikan ialah pekerjaan tangan.

3.Produksi/kreasi
Dalam menjelaskan metode tangan ini, ia berkali-kali menggunakan konsep-konsep respsi, reproduksi, dan produksi atau kreasi. Resepsi produksi adalah metode lama, anak sebagai objek dan pasif, serta umumnya verbalistis. Sedangkan metode produksi ini, anak diberi kesempatan untuk aktif berbuat atau mencipta.
Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman berbuat yang melibatkan emosi, pemikiran, dan tubuh. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengajaran hendaknya mengupayakan aktivitas seoptimal mungkin pada siswa. Pengajaran jangan terperangkap dan berhenti dalam bentuk reseptif dan reproduktif.
Dasar pendidikan yang dikembangkan oleh Moh. Syafei adalah kemasyarakatan, keaktifan, kepraktisan, serta berpikir logis dan rasional. Berkenan dengan itulah maka isi pendidikan yang dikembangkannya adalah bahan-bahan yang dapat mengembangkan pikiran, perasaan, dan ketrampilan atau yang dikenal dengan istilah 3 H, yaitu Head, Heart dan Hand. Implikasi terhadap pendidikan adalah: 

1.  Mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional
2. Mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh.
3. Mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang berwatak baik.
4.    Menanamkan rasa cinta tanah air.
5. Mendidik anak agar mandiri tanpa tergantung pada orang lain.

Dalam pelajaran, anak hendaknya menjadi subjek (pelaku) bukan dikenai (objek). Dengan menjadi subjek, seluruh tubuh anak terlibat, juga emosi, dan pemikiran dan daya khayalnya. Keasyikan emosi, dan spontanitas anak ketika bermain hendaknya dapat dialihkan ke dalam proses belajar mengajar. Peranan guru adalah sebagai manajer, belajar yang mengupayakan bagaimana menciptakan siatuasi agar siswa menjadi aktif berbuat. Dengan demikian, guru juga berperan sebagai fasilator belajar yang memperlancar aktivitas anak dalam belajar. Guru yang demikian dituntut untuk memahami anak sebagai makhluk yang selalu bergerak dan memahami psikologi belajar, serta psikologi perkembangan.

E.     Peranan Pendidikan Menurut Mohammad Syafei (INS Kayu Tanam) dalam Perkembangan Pendidikan di Indonesia Saat Ini
Terdapat berbagai usaha yang dilakukan oleh Mohammad Syafei dan kawan-kawan dalam mengembangkan gagasan dan berupaya mewujudkannya, baik yang berkaitan dengan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam maupun tentang pendidikan dan perjuangan/pembangunan bangsa Indonesia pada umumnya.
Peranan pendidikan INS Kayu Tanam terlihat dalam beberapa usaha yang dilakukan oleh Ruang Pendidik INS Kayu Tanam yang dalam bidang kelembagaan antara lain menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti ruang rendah (7 tahun, setara SD untuk masa sekarang), ruang dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara sekolah menengah untuk masa sekarang), dan sebagainya. Terdapat pula program khusus untuk menjadi guru, yakni tambahan satu tahun setelah ruang dewasa untuk pembekalan kemampuan mengajar dan praktik mengajar (Said, 1981: 57-69).
Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini, sudah banyaknya sekolah-sekolah yang memasukan materi atau unsur ketrampilan-kerajinan (menggambar, pekerjaan tangan dan sejenisnya) dalam setiap mata pelajaran menandakan bahwa pandangan M. Syafei memang sesuai dengan tujuan dari pemberian pendidikan kepada anak-anak Indonesia.
Selain itu Ruang Pendidik INS Kayu Tanam juga menyelenggarakan usaha lain sebagai bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni penerbitan Sendi (majalah anak-anak), buku bacaan dalam rangka pemberantasan buta huruf/aksara dan angka dengan judul Kunci 13, mencetak buku-buku pelajaran dan lain-lain. Usaha-usaha ini berperan besar bagi perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini, karena merupakan awal tonggak untuk masyarakat Indonesia mulai sadar bahwa pentingnya pendidikan dan juga masih selalu terjadi program-program pemberantasan buta huruf/aksara hingga saat ini untuk mencapai warga negara Indonesia yang berpendidikan sesuai dengan cita-cita luhur pancasila.



KESIMPULAN
Mohammad Syafei adalah tokoh pendidikan nasional yang berasal dari Sumatra Barat, perjuangan beliau juga dititik beratkan pada bidang pendidikan. Pendidikan yang ditempuhnya adalah sekolah raja di Bukittinggi, kemudian belajar melukis di Batavia tahun 1914 dan mengajar di sekolah Kartini. Tahun 1922 ia menuntuk ilmu di Negeri Belanda. Tahun 1925 ia kembali ke tanah air dan bertekad ingin mendirikan sebuah sekolah. Karyanya yang fundamental adalah mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische Nederland School (INS) di Kayu Tanam, Sumatra Barat pada tanggal 31 Oktober 1926. Saat Indonesia merdeka ia diangkat menjadi ketua Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan dan mendirikan ruang pendidikan dan kebudayaan di Padang. Disamping itu Moh.Syafei pernah diangkat menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Syahril II, serta pernah menjadi angggota DPA.
Filsafat pendidikan Moh.Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalisme dalam arti konsep dan praktik penyelenggara pendidikan INS Kayu Tanam didasarkan pada cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya denan alat daya upaya yang dinamakan aktif kreatif untuk pmenguasai alam.
Pandangan pendidikan Moh.Syafei sangat dipengaruhi oleh aliran Devolepmentalisme, terutama oleh gagasan sekolah kerja yang dikembangkan oleh John Dewey dan George Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekitar yang dikembangkan oleh Jan Ligthart.
Fungsi pendidikan menurut Moh.Syafei adalah membantu manusia keluar sebagai pemenang dalam perkembangan kehidupan dan persaingan dalam penyempurnaan hidup lahir dan batin antar bangsa (Thalib Ibrahim,1978:25).
Manusia dan bangsa yang dapat bertahan ialah manusia dan bangsa yang dapat mengikuti perkembangan masyarakat atau zamannya. Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk secara terus menerus kesempurnaan lahir dan batin anak dapat mengikuti perkemangan masyarakat yang selalu mengalami perubahan dan kemajuan. Kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulum pendidikan dasar dan beberapa mata pelajran yang khusus. Sedangkan metode pendidikannya adalah sekolah kerja, pekerjaan tangan dan produksi kreasi. Dasar pendidikan yang dikembangkannya adalah kemasyarakatan, keaktifan, kepraktisan serta berpikir logis dan rasional.
Mendidik anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh, menjadi anak yang berwatak baik dan mandiri. Dalam pelajaran anak diperlakukan sebagai subjek bukan objek. Guru berperan sebagai manajer  dan fasilitator untuk menciptakan situasi agar siswa aktif berbuat.

















DAFTAR PUSTAKA

Abdul-Mukthi A.H, Panji Masyarakat, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1966, No. 41,hal.41

Aliran-aliran Baru dalam Pendidikan dan pengajaran, Percetakan Dagang Usaha,Payakumbuh, 1958, hal. 91

Kementerian Penerangan, Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Tengah hal .778

M. Syafei, Sejarah INS Kayu Tanam, Harian Angkatan Bersenjata Edisi Padang, 2 November 1966, hal.1