Jumat, 01 Maret 2013

Pengertian Anak Kesbel


BAB I

PENDAHULUAN



            Anak kesulitan belajar termasuk ke dalam kelompok anak “ learning disability “. Atau ketakcakapan belajar. Di dalam dunia pendidikan luar biasa masalah anak berkesulitan belajar merupakan bidang garapan yang masih relative muda, belum menjadi bidang garapan yang cukup kuat, walaupun perdebatan dan kontroversi dalam bidang ini sudah ada sejak 20 tahun. Karena kekeliruan konsep dan pemahaman anak kesulitan belajar seperti itu sering di juluki sebagai “ anak berpenyakit aneh “ atau suatu dilema.
            Untuk lebih mengetahui tentang anak kesulitan belajar disini kami akan menjelaskan tentang siapa yang termasuk anak yang memiliki kesulitan dalam belajar,pengertian tentang kesulitan belajar,apa penyebab kesulitan belajar,dan pembahasan-pembahasan lain mengenai materi anak yang memiliki kesulitan belajar.



1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Keragamaan jenis anak kesulitan belajar yang mungkin di alami seseorang anak memang menghendaki adanya klasifikasi yang cermat tentang kesulitan belajar. Oleh karena itu muncul berbagai istilah atau sebutan bagi kesulitan kesuliatan belajar. Anak-anak kesulitan belajar memilki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan perspetual motorik tertentu atau kemampuan bahasa.
Anak kesulitan belajar adalah seorang anak yang memilki masalah dalam mempelajari mata-mata pelajaran dasar seperti menulis,membaca,berhitung dan mengeja sehingga mereka mengalami gangguan dimana ganggaun tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan signifikan yang dapat menghambat  atau dapat menimbulkan gangguan proses belajar.
Alasan kami mengangkat makalah tentang anak yang memilki kesulitan dalam belajar untuk menjelaskan atau memberitahukan tentang seorang anak yang mengalami gangguan atau hambatan dalam proses belajar.


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KESULITAN BELAJAR
Kesulitan belajar merupakan gangguan perceptual,konseptual,memori, maupun ekspresif di dalam proses belajar. Kandatipun gangguan ini bisa terjadi di dalam berbagai tingkatan kecerdasan, namun ‘kesulitan belajar’ lebih terkait dengan tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas normal. Kesulitan belajar hadir dari setidaknya 10 persen dari populasi. Umumnya anak kesulitan belajar tampak ketika anak mulai mempelajari mata pelajaran dasar seperti menulis,membaca,berhitung,dan mengeja. Para ahli di Amerika memperkirakan bahwa 6 sampai 10 persen dari penduduk usia sekolah di Amerika Serikat adalah anak dengan kesulitan belajar. Hampir 40 persen dari anak-anak yang terdaftar dalam kelas kebutuhan khusus mengalami kesulitan belajar. The Foundation for Children With Learning Disabilities memperkirakan bahwa ada 6 juta orang dewasa dengan kesulitan belajar juga.

2.2 FAKTOR KESULITAN BELAJAR

a. Factor genetic
b. Luka pada otak karena trauma fisik atau kekurangan oksigen
c. Biokimia
d. Pencemaran lingkungan
e. Gizi buruk
f. Deprivasi lingkungan

Kesulitan belajar mempunyai masalah di prestasi akademis dan perkembangan. Kesulitan belajar menunjukkan perkembangan yang tidak merata (perkembangan bahasa, perkembangan fisik, perkembangan akademik atau perkembangan persepsi). Di sini Kesulitan belajar bukan karena faktor lingkungan dan Kesulitan belajar bukan karena retardasi mental atau gangguan emosional.

2.3 PENYEBAB KESULITAN BELAJAR

a. Perkembangan anak menjadi dewasa pada tingkat yang lebih lambat dari orang lain dalam kelompok usia yang sama. Akibatnya, mereka mungkin tidak dapat melakukan pekerjaan sekolah yang diharapkan. Jenis kesulitan belajar ini disebut kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan.
b. anak dengan penglihatan dan pendengaran normal mungkin salah menafsirkan pemandangan sehari-hari dan suara karena beberapa gangguan yang tidak dapat dijelaskan dari sistem saraf.
c. Cedera sebelum lahir atau pada anak usia dini akan berpengaruh pada masalah belajarnya.
d. Anak-anak yang lahir prematur dan anak-anak yang mempunyai masalah medis setelah lahir kadang-kadang memiliki kesulitan belajar.
e. Kesulitan belajar cenderung turun temurun dalam keluarga, sehingga beberapa kesulitan belajar mungkin warisan.
f. Kesulitan belajar lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, mungkin karena anak laki-laki cenderung lebih lambat perkembangannya
e.kesulitan belajar tampaknya terkait dengan ejaan yang tidak teratur, pengucapan, dan struktur bahasa Inggris. Insiden ketidakmampuan belajar lebih rendah di negara-negara berbahasa Spanyol atau Italia.

2.4

a.Bahasa :keterlambatan, gangguan, dan penyimpangan dalam mendengarkan dan berbicara.
b. Menulis : kesulitan dengan membaca, menulis dan ejaan
c. Aritmatika : kesulitan dalam melakukan operasi aritmatika atau dalam pemahaman konsep dasar.
d. Penalaran: kesulitan dalam mengatur dan mengintegrasikan pikiran.
e. Memori: kesulitan dalam mengingat informasi dan instruksi.

2.5GEJALA UMUM KESULITAN BELAJAR


  1. kinerja yang buruk pada tes kelompok
  2. kesulitan membedakan, bentuk, warna
  3. kesulitan dengan konsep temporal (waktu)
  4. pembalikan dalam menulis dan membaca
  5. kekakuan/kejanggalan umum
  6. koordinasi visual-motor yang lemah
  7. hiperaktif.
  8. kesulitan menyalin secara akurat dari model
  9. kelambatan dalam menyelesaikan pekerjaan
  10.  keterampilan organisasi yang lemah
  11. easily confused by instructions mudah bingung dengan instruksi
  12. kesulitan dengan penalaran abstrak dan / atau pemecahan masalah
  13. tidak teratur dalam berfikir
  14. sering terobsesi pada satu topik atau ide
  15. memori jangka pendek atau jangka panjang yang lemah
  16. perilaku impulsif, kurangnya pemikiran reflektif sebelum tindakan
  17. kurang sabar dalam kegagalan
  18. pergerakan yang berlebihan selama tidur
  19. kurang dalam hubungan pertemanan
  20. terlalu bersemangat saat bermain kelompok
  21. memiliki penilaian sosial yang buruk
  22. kurang  tepat,tidak memilih dan sering berlebihan menampilkan kasih sayang
  23. tertinggal dalam tahap perkembangan (misalnya motor, bahasa)

Ketika mempertimbangkan gejala-gejala tersebut, penting untuk tetap memperhatikan hal berikut. Tidak satu pun anak kesulitan belajar memiliki semua gejala ini antara populasi LD, beberapa gejala lebih biasa daripada yang lain Semua orang memiliki setidaknya dua atau tiga masalah ini untuk beberapa tingkat Jumlah gejala yang terlihat pada anak tertentu tidak memberikan indikasi apakah gangguan ringan atau berat . Penting untuk mempertimbangkan apakah perilaku terus-menerus dan tampak dalam kelompok.



2.6 PERAN ORANG TUA DARI ANAK KESULITAN BELAJAR


  1. Luangkan waktu untuk mendengarkan anak-anak Anda sebanyak yang Anda bisa (benar-benar mencoba untuk mendapatkan "Pesan“ mereka).
  2. Cinta mereka dengan menyentuh mereka, memeluk mereka, menggelitik mereka, gulat dengan mereka (mereka membutuhkan banyak kontak fisik).
  3. Carilah dan dorong kekuatan mereka, minat, dan kemampuan. Bantu mereka untuk menggunakan ini sebagai kompensasi untuk kekurangannya.
  4. Hadiahi mereka dengan pujian, kata-kata yang baik, tersenyum, dan tepukan di belakang sesering mungkin.
  5. Menerima mereka untuk apa yang mereka dan potensi mereka untuk pertumbuhan dan perkembangan.realistis dalam harapan dan tuntutan Anda
  6. Libatkan mereka dalam menetapkan aturan dan peraturan, jadwal, dan kegiatan keluarga.
  7. Beritahu mereka ketika mereka berlaku tak pantas dan menjelaskan bagaimana perasaan anda tentang kelakuannya, lalu minta mereka mengusulkan cara lain yang lebih diterima dalam berperilaku
  8. Bantu mereka untuk memperbaiki kesalahan mereka dan kesalahan dengan menunjukkan apa yang harus mereka lakukan. Jangan mengomel!
  9. Beri mereka tugas-tugas yang layak dan tanggungjawab tugas keluarga bila memungkinkan.
  10. Beri mereka uang saku sejak dini dan kemudian membantu mereka berencana untuk mempergunakannya.
  11. Menyediakan mainan, permainan, kegiatan motorik dan kesempatan  yang akan merangsang mereka dalam perkembangan mereka.
  12. Bacalah cerita yang menyenangkan bersama dengan mereka . Mendorong mereka untuk mengajukan pertanyaan, mendiskusikan cerita, bercerita,, dan untuk membaca ulang cerita.
  13. Selanjutnya kemampuan mereka untuk berkonsentrasi dengan mengurangi aspek yang mengganggu lingkungan mereka sebanyak mungkin (memberi mereka tempat untuk bekerja, belajar dan bermain).
  14. Jangan terpaku pada nilai sekolah ! Penting bahwa kemajuan mereka di tingkatnya dan diberi imbalan untuk melakukannya
  15. . Ajak mereka ke perpustakaan dan menganjurkan mereka untuk memilih dan memeriksa buku-buku yang menarik. Mintalah mereka berbagi buku mereka dengan Anda. Semangat Menyediakan buku dan bahan bacaan di sekitar rumah
  16. Bantu mereka untuk mengembangkan harga diri dan bersaing dengan diri sendiri daripada dengan orang lain.
  17. Menegaskan bahwa mereka bekerja sama sosial dengan bermain, membantu, dan melayani orang lain dalam keluarga dan masyarakat.
  18. Sajikan sebagai model kepada mereka dengan membaca dan mendiskusikan bahan kepentingan pribadi. Berbagi dengan mereka beberapa hal yang Anda baca dan lakukan.
  19. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan guru atau spesialis lain setiap kali Anda merasa perlu dalam rangka untuk lebih memahami apa yang dapat dilakukan untuk membantu anak Anda belajar 

Karakteristik anak Tunagrahita


ANAK TUNAGRAHITA DAN KARAKTERISTIKNYA

A.    PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah anak “bego”, atau kata yang lebih kasar lagi “anak gila”. Itulah sebutan atau predikat untuk anak tunagrahita. Bahkan ada yang mengatakan anak cacat (tuna) adalah sebagai kutukan, pembawa sial, karena perbuatan tidak senonoh orang tuanya. Sehingga setiap orang tua yang mempunyai anak cacat (tuna) merasa malu dan menyembunyikan anak tersebut.
Dan ada pula yang berpendapat, bahwa anak cacat adalah anak yang membawa hoki, membawa keberuntungan. Itulah kenyataan yang terjadi di masyarakat.

B.    PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA
Istilah untuk anak tunagrahita bervariasi, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama : lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita.
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Mentally Handicaped, Mentally Retardid. Anak tunagrahita adalah bagian dari anak luar biasa. Anak luar biasa yaitu anak yang mempunyai kekurangan, keterbatasan dari anak normal. Sedemikian rupa dari segi: fisik, intelektual, sosial, emosi dan atau gabungan dari hal-hal tadi, sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Jadi anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kekurangan atau keterbatasan dari segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun sosial, dan karena memerlukan layanan pendidikan khusus.
  
C.    KLASIFIKASI ANAK TUNAGRAHITA
Potensi dan kemampuan setiap anak berbeda-beda demikian juga dengan anak tunagrahita, maka untuk kepentingan pendidikannya, pengelompokkan anak tunagrahita sangat diperlukan. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.
  1. Tunagrahita Ringan (Debil)
Anak tunagrahita ringan pada umumnya tampang atau kondisi fisiknya tidak berbeda dengan anak normal lainnya, mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70. Mereka juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.
  1. Tunagrahita Sedang atau Imbesil
Anak tunagrahita sedang termasuk kelompok latih. Tampang atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak tunagrahita yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat ke;las II SD Umum.
  1. Tunagrahita Berat atau Idiot
Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 kebawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.

D.    SEBAB-SEBAB KETUNAAN
Menurut penyelidikan para ahli (tunagrahita) dapat terjadi :
  1. Prenatal (sebelum lahir)
Yaitu terjadi pada waktu bayi masih ada dalam kandungan, penyebabnya seperti : campak, diabetes, cacar, virus tokso, juga ibu hamil yang kekurangan gizi, pemakai obat-obatan (naza) dan juga perokok berat.
  1. Natal (waktu lahir)
Proses melahirkan yang sudah, terlalu lama, dapat mengakibatkan kekurangan oksigen pada bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil. Dapat menyebabkan otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia), juga proses melahirkan yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).
  1. Pos Natal (sesudah lahir)
Pertumbuhan bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam tinggi yang disertai kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak (meningitis) dapat menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).

E.    KARAKTERISTIK ANAK TUNAGRAHITA
Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita dapat dilihat dari segi :
  1. Fisik (Penampilan)
Ø  Hampir sama dengan anak normal
Ø  Kematangan motorik lambat
Ø  Koordinasi gerak kurang
Ø  Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
  1. Intelektual
Ø  Sulit mempelajari hal-hal akademik.
Ø  Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
Ø  Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50
Ø  Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.
  1. Sosial dan Emosi
Ø  Bergaul dengan anak yang lebih muda.
Ø  Suka menyendiri
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Kurang dinamis
Ø  Kurang pertimbangan/kontrol diri
Ø  Kurang konsentrasi
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.

F.     PENDIDIKAN ANAK TUNAGRAHITA
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pengajaran. Demikian halnya dengan anak tunagrahita berhak untuk mendapatkan pendidikan. Sekolah-sekolah untuk melayani pendidikan anak luarbiasa (tunagrahita) yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah berkebutuhan khusus.
Sekolah untuk anak luar biasa terdiri dari :
  1. SLB – A untuk anak Tunanetra
  2. SLB – B untuk anak Tunarungu
  3. SLB – C untuk anak Tunagrahita
  4. SLB – D untuk anak Tunadaksa
  5. SLB – E untuk anak Tunalaras
  6. SLB – F untuk anak Berbakat
  7. SLB – G untuk anak cacat ganda


Sekolah Luar Biasa untuk anak tunagrahita dibedakan menjadi :
  1. SLB – Cuntuk Tunagrahita ringan
  2. SLB – C1untuk Tunagrahita sedang
Untuk Tunagrahita berat biasanya berbentuk panti plus asramanya.
  
G.    KURIKULUM
Dalam memberikan layanan pendidikan tidak terlepas dari yang namanya kurikulum. Kurikulum sebagai pedoman bagi sekolah. Kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan tugasnya. Kurikulum untuk Sekolah Luar Biasa disesuaikan dengan jenis dan tingkat ketunaannya, mulai dari tingkat TKLB sampai dengan SMALB.
Kurikulum yang sekarang ini digunakan yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Selain mempelajari mata pelajaran umum, ada juga mata pelajaran ke khususan, untuk anak tunagrahita yaitu mata pelajaran “Bina Diri” didalamnya mencakup:
Ø  Kemampuan merawat diri
Ø  Mengurus diri
Ø  Menolong diri
Ø  Komunikasi dan Sosialisasi


DAFTAR PUSTAKA

Selasa, 26 Februari 2013

Neuropedagogis


BAB II
PEMBAHASAN
   Hakikat Neuropedagogis
Ada tiga istila secara harfiah. Neuro, berarti sel syaraf otak. Dalam konteks ini, bagaimana sel-sel tersebut mencatat atau merekam informasi di sekitar kita setelah mendapatkan stimulus. Menurut para ahli neuro science, sel syaraf otak kita menerima 4 juta item informasi per detiknya. Informasi itu masuk ke dalam alam pikir kita melalui peran sel-sel syaraf atau akson. Menurut Pasiak (2004) dalam otak manusia terdapat akson yang berfungsi sebagai pemberi pesan dalam tubuh kita. Akson setelah menerima stimulus dari luar dan diproses melalui dua cara:1) sinyal listrik dan 2) sinyal kimiawi (neurotransmitter). Dengan proses listrik dan biokimiawi inilah informasi yang jumlahnya jutaan itu dicatat dan direkam. Sangat kompleks yang kita rekam, dari apa yang kita lihat, dengar, dan raba/pegang hingga apa yang kita baui dan kita rasakan melalui panca indera. Dengan kata lain, neuro berarti bagaimana sel-sel syaraf otak menerima informasi. Semua yang kita sensing melalui panca indera itu, pencatannya membutuhkan kebahasaan (linguistic) sebagai alat bantu. Inilah unsur kedua dari pengertian harfiah NLP, yakni linguistic. Tanpa bahasa otak kita tidak bisa mereprentasikan, tidak bisa menggambarkan apa kita alami. Contoh betapa bahasa akan memudahkan kita untuk merepresentasikan sesuatu peristiwa agar pikiran mudah mencatat/merekamnya. seseorang mengalami sebuah peristiwa makan pagi misalnya. Tentunya seseorang tersebut dapat melihat (potret makan pagi) dalam pikirannya. Sehingga dapat merasakannya: enak, menyenangkan, membauinya dan mendengarkan tegukan air minumnya.
Pedagogik berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki, dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogic secara harfiah berari pembantu anak laki-laki pada jaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah. Kemudian secara kiasan pedagogik menurut seorang ahli, yaitu membimbing anak kearah tujuan hidup tertentu. Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogic adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogic adalah ilmu pendidikan anak.
Langeveld (1980), membedakan istilah “pedagogic” dengan istilah “pedagogi”. Pedagogic diartikan dengan ilmu pendidikan, lebih menitik beratkan kepada pemikiran, perenungan tentang pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak, mendidik anak. Sedangkan istilah pedagogi berarti pendidikan, yang lebih menekankan pada praktek, menyangkut kegiatan mendidik, kegiatan membimbing anak.
Pedagogic merupakan suatu teori yang secara teliti, krisis dan objektif, mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakekat manusia, hakekat anak, hakekat tujuan pendidikan serta hakekat proses pendidikan. Walaupun demikian, masih banyak daerah yang gelap sebagai “terraincegnita” (daerah tak dikenal) dalam lapangan pendidikan, karena masalah hakekat hidup dan hakekat manusia masih banyak diliputi oleh kabut misteri.
Dalam bahasa inggris istilah pendidikan dipergunakan perkataan “education”, biasanya istilah tersebut dihubungkan dengan pendidikan di sekolah, dengan alasan, bahwa disekolah tempatnya anak didik oleh para ahli yang khusus mengalami pendidikan dan latihan sebagai profesi. Setelah muncul dari beberapa pengertian tentang neuro dan pedagogis, dapat disimpulkan bahwa neuropedagogis bisa disebut juga Neuroeducation yaitu Interdisipliner yang menggabungkan bidang neurosience, psikologi dan pendidikan untuk menciptakan peningkatan pengajaran metode dan kurikulum dalam penelitian dan inisiatif untuk menggunakan penemuan tentang belajar , memori , bahasa , dan daerah lain. kognitif neuroscience bertujuan untuk menginformasikan pendidik mengenai strategi terbaik untuk mengajar dan belajar. 
Semakin banyak, guru ingin dan perlu tahu tentang bagaimana siswa berpikir dan belajar. Ahli saraf, di sisi lain, ingin tahu bagaimana bisa pertanyaan guru mendorong penelitian neuroscience. Dampak post-modernism yang adalah wawasan tentang peta kompleksitas pemikiran dan praktik intelektual yang kebenarannya bertolak dari rasio dan pengetahuan melalui pengalaman menuntut kita memahami esensi pendidikan yang adalah pengembangan penalaran tentang apa yang diketahui dan yang tidak diketahui.
Penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien merupakan hasil dari proses interaktif yang dinamis dengan lingkungan yang mencakup ciri-ciri fisik, mental, dan emosional yang mengakibatkan integrasi yang terakselerasikan dari fungsi otak dan berakibat terhadap pemekaran kemampuan manusia secara optimal (Semiawan, C, 2005).
Paradigma baru kependidikan sebagai buah penelitian dalam penelitian neuroscience (Teagle, 1992) didasarkan pada asumsi bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) sehingga memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menciptakan hal-hal yang sifatnya baru.
 Neuropedagogis dan Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar atau learning disability yang biasa juga disebut dengan istilah learning disorder atau learning difficulty adalah salah satu kelainan yang membuat individu yang bersangkutan sulit untuk melakukan kegiatan pembelajaran secara efektif (Martini:2010). Faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar tidak mudah untuk ditetapkan karena faktor tersebut bersifat kompleks, bahkan faktor tersebut tidak dapat diketahui akan tetapi mempengaruhi kemampuan otak dalam enerima dan memproses imformasi dan kemampuan dalam belajar dibidang-bidang studi tertentu.
Akan tetapi kemudian ada dugaan para ahli bahwa salah satu penyebab dari kesulitan belajar disebabkan oleh minimal brain dysfunction atau disfungsi otk yang terjadi secara minimum. Oleh sebab itu, otak merupakan perangkat yang penting dn berpengaruh terhadap keberhasilan manusia dalam melakukan berbagai kegiatannya termasuk kegiatan belajar.
Hubungan neuropedagogis dengan kesulitan belajar diantara susunan syaraf pusat yang telah di teliti oleh Alfread Strauss, seorang Neurologist berkebangsaan Jerman yang berimigrasi ke U.S.A pada akhir 1930. Ia menerangkan adanya hubungan antara luka pada otak dengan penyimpangan di dalam perkembangan bahasa, persepsi dan perilaku.
Selanjutnya, strauss dan Lehtinen (1942) mengemukakan bahwa kerusakan yang terjadi pada otak yang menjadi penyebab terjadinya kelainan persepsi visual dan auditif menyebabkan terjadinya kesulitan di bidang bahasa, membaca, matematika, dan bidang lainnya. Hasil penelitian strauss mendorong lahirnya ilmu yang disebut neuropsychology.
Wittrock (1978) dan Gordon (1983) adalah para ahli yang melakukan penelitian di bidang neuropsychology dan hasil penelitian kedua tersebut mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan Strauss. Kedua ahli ini menyimpulkan bahwa belah otak bagian kiri (left hemisphere) mengatur fungsi sequential linguistic (urutan linguistik) dan verbal task (tugas verbal). Sedangkan belah otak bagian kanan (right hemisphere) mengatur auditory task (tugas auditori, visual spatial task (tugas visual spatial) dan non verbal activities (kegiatan non verbal). Kerusakan yang terjadi pada belahan otak bagian kanan dan belahan otak bagian kiri menyebabkan kesulitan individu dalam melaksanakan tugas-tugas belajar yang berkaitan dengan bahasa, visual dan auditif.
Selama bertahun-tahun berbagi ahli tergantung pada bergagai pendekatan yang lebih maju dalam usahanya untuk mengukur fungsi neurologi dalam rangka mencari informasi bahwa otak melakukan pelayanannya dengan berbagai fungsi yang dimilikinya dan bagaimana struktur. Struktur otak individu yang mengalami cidera otak berbeda dengan struktur otak individu yang tidak pernah mengalami kerusakan otak. Hasil penelitian tersebut sampai saat ini masih tetap diakui, diantaranya 60 % - 70 % individu yang kuat dalam fungsi belahan otak bagian kiri memiliki kemampuan yang tinggi di bidang bahasa, sementara itu hanya 20 % - 30 % individu yang kuat dalam fungsi belahan otak bagian kanan yang memiliki kemampuan dalam bidang bahasa. (Ojemann, 1985)
Heir dan teman-teman sejawatnya, seperti yang dikutip oleh Lovit (1989) melakukan penelitian terhadap sejumlah penderita dyslexia dan ia menemukan bahwa penderita dyslexia memiliki belahan otak kanan yang lebar dari pada belahan otak kiri. Keadaan ini menjadi penyebab terjadinya kesulitan belajar membaca. Dyslexia merupakan kondisi yang berkaitan dengan kemampuan membaca yang sangat tidak memuaskan.
Individu yang mengalami dyslexia memiliki IQ normal bahkan diatas normal, akan tetapi memiliki kemampuan membaca 1 atau 1 ½ tingkat di bawah kemampuan IQ nya. Kasus dyslexia dialami oleh 3%-6% dari jumlah penduduk. Namun  kasus yang berkaitan dengan kesulitan membaca yang tidak di golongkan ke dalam dyslexia kurang dari 50% dari jumlah penduduk. (Child Development Insitute, 2008 : 1). Siswa yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami satu atau lebih kesulitan dalam memproses informasi, seperti kemampuan dalam menyampaikan dan menerima informasi.

Neuropedagogis dan Brain Restoration 
Menurut dr. Ratna Rosita, peran kesehatan dalam mengembangkan SDM berbasis otak dilakukan dengan mengoptimalkan upaya kesehatan otak dimulai dari sejak janin sampai lanjut usia. Sedangkan "Brain Development" adalah salah satu model pendekatan pengembangan pemberdayaan manusia berbasis otak untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas SDM.
Dalam Brain Development perkembangan otak manusia dilihat secara anatomis, secara molekuler, dan tentu secara psikologis.Yang dimaksud dengan perkembangan otak manusia secara anatomis adalah perkembangan otak manusia yang terdiri dari otak reptil, otak mamalia, dan otak neo cortex. Yang dimaksud secara molekuler adalah seperti syaraf, myelin, dendrite, hingga zat – zat yang terdapat di dalam otak. Yang dimaksud secara psikologis adalah proses kognitif, proses afektif, dan proses psikomotorik seseorang yang semuanya diatur di dalam otak. Proses brain development dibagi tiga, brain screening, brain stimulation, dan brain restoration. Brain selection atau brain screening adalah upaya penilaian potensi kecerdasan pada orang normal maupun sakit yang meliputi Penilaian potensi kecerdasan pada anak sampai lanjut usia; Penilaian potensi kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence) pada anak misalnya kecerdasan bahasa, kecerdasan matematika, ataupun kecerdasan lainnya; dan Penilaian kecerdasan kompeten pada dewasa/usia produktif. Tahapan selanjutnya atau Brain stimulation adalah upaya peningkatan kesehatan otak melalui pemberian rangsangan dengan tujuan mengoptimalkan potensi kecerdasan yang meliputi Stimulasi pada janin (dilakukan melalui brain booster, yaitu pemberian stimulasi dan nutrisi pengungkit otak untuk meningkatkan perkembangan otak janin melalui ibu hamil), Peningkatan kemampuan komunikasi anak dan remaja melalui komunikasi otak. Tahap Brain Restoration adalah upaya penanggulangan kerusakan otak melalui rangsangan potensi kecerdasan yang masih dimiliki untuk memaksimalkan potensi kecerdasan yang berbeda-beda tergantung pada usia. Brain restoration sebagai Stimulasi/rehabilitasi kognitif yang bertujuan untuk menanggulangi gangguan fungsi kecerdasan dan meningkatkan kualitas hidup penderita yang mengalami gangguan kognitif. Brain restoration yang dimaksud adalah rangkaian proses terapi, latihan atau kegiatan kepada seorang manusia yang mengalami cedera otak, penyakit, atau gangguan otak. Proses terapi, latihan atau kegiatan ini bekerja sama antara keluarga dan tenaga kesehatan professional. Tujuan dari prose terapi, latihan, atau kegiatan ini adalah bagaimana meringankan gangguan kognitif serta meningkatkan kemampuan hidup sehari – hari. Peningkatan kemampuan hidup sehari – hari, contohnya kemampuan untuk mengurus diri sendiri seperti mengkacing baju, dan sebagainya.

BAB III
KESIMPULAN


Neuropedagogis atau bisa juga disebut dengan Neuroeducation yaitu Interdisipliner yang menggabungkan bidang neurosience, psikologi dan pendidikan untuk menciptakan peningkatan pengajaran metode dan kurikulum dalam penelitian dan inisiatif untuk menggunakan penemuan tentang belajar , memori , bahasa , dan daerah lain. kognitif neuroscience bertujuan untuk menginformasikan pendidik mengenai strategi terbaik untuk mengajar dan belajar.
Dan hubungannya dengan Kesulitan Belajar yaitu  ketika sel saraf otak kita ada yang rusak yang terjadi pada belahan otak bagian kanan dan belahan otak bagian kiri menyebabkan kesulitan individu dalam melaksanakan tugas-tugas belajar yang berkaitan dengan bahasa, visual dan auditif. Menurut Wittrock (1978) dan Gordon (1983).
Kemudian diperkuat lagi oleh Heir dan teman-teman sejawatnya, seperti yang dikutip oleh Lovit (1989), melakukan penelitian terhadap sejumlah penderita dyslexia dan ia menemukan bahwa penderita dyslexia memiliki belahan otak kanan yang lebar dari pada belahan otak kiri. Keadaan ini menjadi penyebab terjadinya kesulitan belajar membaca.
Brain         Restoration adalah upaya penanggulangan kerusakan otak melalui rangsangan potensi kecerdasan yang masih dimiliki untuk memaksimalkan potensi kecerdasan. Hubungannya adalah ketika Brain restoration berlum tertanggulangi akan menghambat perkembangan otak anak terhadap proses pendidikannya.



Daftar Pustaka

Anderson, Paul D., 1996, Anatomi dan Fisiologi       Tubuh  Manusia, EGC, Jakarta
Jamaris, Martini. 2009, Kesulitan Belajar, Yayasan Penamas Murni, Jakarta
Jamaris, Martini. 2010, Orientasi Baru dalam Psikologi Perkembangan, Yayasan Penamas Murni, Jakarta
http://www.antaranews.com/berita/1323185482/kemkes-kesehatan-otak-penting-untuk-kualitas-sdm
http://optimalisasi-otak-tengah.blogspot.com/2010/07/perkembangan-otak-manusia.html

Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara


BAB II
ISI

2.1     FILOSOFI PENDIDIKAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia , serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat .
Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal . Seperti kata Mark Twain , "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."  Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.
Menurut Horton dan Hunt , lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut:
·         Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
·         Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
·         Melestarikan kebudayaan.
·         Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Fungsi lain lembaga pendidikan adalah sebagai berikut.
·         Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
·         Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
·         Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise , privilese , dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
·         Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Menurut David Popenoe , ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:
·         Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
·         Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
·         Menjamin integrasi sosial.
·         Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
·         Sumber inovasi sosial.

2.2               PRINSIP – PRINSIP PENDIDIKAN
prinsip konstruktivisme. Sementara itu, konstruktivisme sangat berbeda dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi dari teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Belajar bukanlah kegiatan menghubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar. Teori perubahan konsep membedakan dua macam perubahan konsep perubahan konsep yang kuat dan yang lemah. Perubahan konsep yang kuat terjadi bila seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yang telah ia punyai ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Perubahan yang lemah bila orang tersebut hanya mengadakan asimilasi skema yang lama ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan perubahan itu pengetahuan manusia berkembang dan berubah. Untuk memungkinkan terjadinya perubahan diperlukan suatu keadaan yang menantang orang tesebut berpikir. Teori asimilasi Ausubel menjelaskan bagaimana belajar bermakna terjadi, yaitu bila siswa mengasimilasikan apa yang ia pelajari dengan pengetahuan yang ia punyai sebelumnya. Dalam proses ini pengetahuan seseorang selalu diperbaharui dan dikembangkan lewat fenomena dan pengalaman yang baru.Teori skema lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat mengubah dan menambahkan skema yang ada sehingga dapat menjadi luas dan berkembang. Ketiga teori tersebut dalam banyak hal mengandung kesamaan dengan prinsip konstruktivisme. Sementara itu, konstruktivisme sangat berbeda dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam.

2.3       APLIKASI PANDANGAN KI HADJAR DEWANTARA DALAM PENDIDIKAN.
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.  Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !” Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik. Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.

2.4     PERANAN KI HADJAR DEWANTARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SAAT INI
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses mengajar, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian pada hari ini atau masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru dan di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya ‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didiknya.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan social peserta didik. Secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’, ‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain.
Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’ dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari ‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain.
Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya.
Proses memindahkan segala’keteladanan diri’ pengetahuan diri dan perilaku professional seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh Ki hajar dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’. Pada posisi inilah guru juga harus mampu menjadi motivator dikelasnya. Mengapa motivator? Karena Motivator memiliki kekuatan sinergis antara mengajar dan mendidik seperti motivasi dari pendidikan KiHajar itu sendiri.
Urgensitas Pendidikan Karakter dan Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara
“Karakter yang ingin kita bangun bukan hanya kesantunan, tetapi secara bersamaan kita bangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaranan intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi,” katanya. Seolah pernyataan menunjukkan isyarat bahwa sudah saatnya kita kembali merefleksi konsepsi pendidikan kita saat ini berjalan. Sebab konsepsi pendidikan karakter sebenarnya merupakan hasil pemikiran luhur dari Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara.
Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni  tringa  yang meliputi  ngerti, ngrasa,  dan  nglakoni . Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Merasa saja dengan tidak pengertian dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu. “Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku kothong”, laku tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar tidak pincang perbuatan harus dengan ilmu.
Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapakan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran/amanah, diplomatis; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan kebajikan

BAB III
PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
ü   Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia , serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat .
ü   konstruktivisme sangat berbeda dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi dari teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain.
ü    Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).

3.2     DAFTAR PUSTAKA
ü Abdurrahman Surjamiharjo, Ki Hadjar dan Taman Siswa, 147-148.
ü Wikipedia